Merasa tidak kalau iklim sekarang semakin susah untuk di prediksi. Di Jogja, tempat tinggal saya selama hidup ini dulunya sangat jarang terjadi bencana alam. Saking jarangnya bencana alam di Jogja. Bencana alam paling lekat di ingatan masyarakat Jogja biasanya hanya meletusnya Gunung Merapi. Itupun bukan karena ulah tangan manusia. Bencana seperti meletusnya gunung berapi adalah siklus tahunan yang bisa di prediksi sehingga bisa dicegah semaksimal mungkin untuk meminimalisir korban jiwa yang berjatuhan.
Kini Jogja semakin panas. Saya bahkan beberapa kali terkena heat stroke saking panasnya saat bersepeda. Padahal biasanya saya bersepeda tidak pernah melebihi jam 12 siang. Pada jam 10 pagi, terkadang bahkan jam 9 pagi sudah mulai terasa panasnya cuaca Jogja. Dan saking tak bisa diprediksinya cuaca di Jogja, kadang sore harinya setelah pagi cerah bisa tiba-tiba mendung gelap lalu hujan deras. Tidak jarang hujan di Jogja di sertai angin kencang. Tahu tidak julukan Jogja selain Kota Pelajar? Baru-baru ini, Jogja juga dijuluhi Kota Seribu Baliho, dan bila terjadi hujan dengan angin kencang bisa dibayangkan ngerinya berkendara melintasi hal (baliho-baliho) itu.
Perubahan iklim memang sesuatu yang tidak bisa dihindari. Semakin bertambahnya populasi manusia tentu sangat berdampak dengan sumber daya yang ada. Kita tidak boleh berpikiran seperti layaknya Thanos yang ngide musnahkan 50% populasi Bumi biar nggak ribet dan cepat kelar urusan kerusakan sebuah planet. Kita juga nggak mungkin seperti GreenPeace atau lembaga yang concern tentang alam yang sangat fokus dengan perubahan iklim bahkan sampai melakukan demonstrasi.
Kita cukup ubah kebiasaan mulai dari hal kecil. Walaupun tidak berpengaruh banyak atau bahkan dicibir, kebiasaan kecil penting untuk menyebarkan energi positif agar iklim berubah (lebih) baik kembali. Saat merasakan panasnya Jogja dengan perubahan cuacanya yang tidak bisa di prediksi, inikah hal kecil yang saya lakukan:
Bersepeda
Saat pandemi, saya mulai bersepeda kembali. Sempat di cap dengan julukan pesepeda era Corona, saya tetap bersepeda melewati cibiran-cibiran sinis itu. Sebenarnya dulu saya sering bersepeda, namun karena enaknya berkendara motor yang tinggal gas saja itu, saya terlena. Namun, kemudian saya kembali sadar, saat mulai bersepeda kembali saya jadi lebih bugar. Niat awal karena ingin jauh dari virus Covid-19, berlanjut dengan pikiran-pikiran bahwa mengurangi pemakaian kendaraan bermotor akan mengurangi pula polusi kendaraan sehingga kualitas udara Jogja menjadi lebih baik.
Menanam Pohon
Saya memiliki rumah dengan desain sirkulasi aliran udara yang kurang baik. Saya mulai sedikit demi sedikit menanam pohon untuk perbaiki kualitas udara di rumah. Dengan kualitas udara yang baik tentu akan menambah daya tahan tubuh. Ibu saya juga menyarankan menanam pohon yang bisa berbuah agar dapat bermanfaat sewaktu-waktu. Walaupun memang pohon yang berbuah namun rindang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tumbuh besar namun itu tidak mengapa.
Ganti Alat Elektronik Hemat Energi
Ini hal penting yang sangat urgent saya lakukan. Mengganti alat elektronik yang hemat energi selain tentunya bisa membuat ramah dengan alam, tentu saja bisa mengurangi beban anggaran listrik bulanan. Alat elektronik yang bisa mulai diganti adalah lampu. Kita bisa mengganti lampu dengan watt rendah dan hemar energi. Saya bahkan mengganti hampir semua lampu di rumah agar konsumsi daya lebih terukur. Walaupun efeknya tidak banyak kepada alam, namun paling tidak kita mulai membiasakan diri peduli dengan alam.
Itulah hal kecil dimulai dari kebiasaan yang bisa saya lakukan kepada alam. Mari bersama #UntukmuBumiku #TeamUpforImpact agar iklim berubah kembali baik.
Add your comment EmoticonEmoticon