Rasa otentik sebuah jajanan tradisional adalah tentang bagaimana cara mengolah atau memasaknya. Dalam hal ini adalah jajanan tradisional Jawa yang bernama serabi kocor. Serabi kocor ini berbahan dasar tepung beras, di sajikan dengan gurih manisnya campuran kuah santan dan gula jawa. Apabila sebuah serabi kocor diolah dan dimasak secara benar-benar tradisional, menggunakan tungku kayu bakar dan wajan dari tanah liat maka rasa tiada dua dan istimewa akan tercipta.
Adalah Bu Ngadinem, seorang yang masih teguh menjajakan jajanan tradisional ini. Bu Ngadinem telah berjualan serabi kocor dengan cara tradisional sejak 18 tahun yang lalu. Warung tempat usahanya hanya berupa gubuk sederhana dengan tikar lesehan seadanya. Berada di pinggir jalan raya Bantul km 6 atau daerah di utara gapura Kasongan, serabi kocor Bu Ngadinem mudah ditemukan. Bu Ngadinem biasanya memulai usaha selepas Ashar dan maksimal hanya sampai pukul 8 malam saja.
Tidak banyak yang bisa seteguh Bu Ngadinem ini. Ditengah gempuran jajanan pasar modern, apalagi inovasi alat dapur yang semakin beragam. Bu Ngadinem tetap setia dengan wajan tanah liatnya. Menurut beliau, rasa panggangan tanah liat jauh berbeda dengan dipanggang secara modern. Tak perlu menunggu lama untuk menikmati serabi kocor karena Bu Ngadinem menggunakan empat wajan sekaligus untuk melayani pembeli. Selama proses memanggang serabi, tutup wajan pun juga terbuat dari tanah liat sehingga Bu Ngadinem sangat terlihat total soal ketradisionalan memasaknya.
Sebenarnya saya mengetahui serabi kocor Bu Ngadinem cukup lama. Lokasi beliau berjualan adalah jalur pulang-pergi saya dari rumah menuju kantor. Setiap melewatinya ada rasa ingin ikut mengantri seperti yang pembeli lainnya lakukan, namun hal tersebut baru kemarin saya dapat mewujudkannya. Yang saya sukai dari makanan dan jajanan tradisional selain rasa, adalah menjumpai pembeli yang datang. Saya dapat menjumpai wajah-wajah lama yang masih ingin nostalgia dengan kuliner pada masanya.
Dalam sehari Bu Ngadinem biasanya menghabiskan 4 kg tepung beras dicampur dengan parutan kelapa muda sebagai bahan baku. Untuk kuah serabi kocor Bu Ngadinem tidak pernah menggunakan tambahan pemanis buatan sehingga rasa manis khas gula jawa terjaga. Bu Ngadinem hanya membuka usahanya pada sore hari. Dan dengan bahan baku yang digunakan, jam buka warung Bu Ngadimen tak pernah lebih dari pukul 8 malam. Untuk buka sampai malampun fasilitas penerangan yang ada di warung serabi kocor hanya lampu teplok sehingga tidak dapat terlalu larut berjualan.
Oh iya bicara soal serabi, serabi ini asal-usulnya masih diperdebatkan. Serabi paling populer berasal dari Bandung dan Solo yang tentunya memiliki kekhasan masing-masing. Sebagai warga Jogja yang dekat dengan Solo, saya lebih sering menikmati serabi Solo. Penyajian serabi ini Solo digulung, kemudian dibalut dengan daun pisang. Terkadang ada varian rasa yang diberikan pada serabi Solo tersebut, seperti coklat, keju, selai dan lain-lain. Di daerah lain juga ada olahan mirip serabi namun dengan nama yang berbeda. Karena banyaknya versi maka serabi lebih dianggap makanan khas Indonesia khususnya Jawa karena di pulau Jawa serabi begitu dikenal. Untuk serabi kocor sendiri adalah kue serabi yang disiram kuah. Serabi kocor sudah sangat jarang apalagi dimasak dengan cara tradisional, untuk itu bagi yang penasaran mari datang ke warung serabi kocor Bu Ngadinem. Tak perlu mengeluarkan biaya mahal karena satu porsi serabi Bu Ngadinem hanya Rp 2.000,- saja.
3 comments
Write commentsEnak rekkk... Ajak aku mampir kak :V
ReplyAjak gak yaa
ReplySesuk neq bali bantul tak mampir akh.. Haha
ReplyAdd your comment EmoticonEmoticon