Saya adalah penikmat kopi pemula, masih baru dalam hal mengecap rasa kopi di dunia perkopian. Tidak banyak juga kedai kopi yang pernah saya datangi di kota Jogja, yang padahal di kota Jogja, kota para mahasiswa ini, kedai kopi sangat mudah dijumpai. Kedai kopi di Jogja tumbuh mengimbangi jumlah para mahasiswa yang sewajarnya mencintai kopi untuk teman nongkrongnya.
Jauh saat saya masih berstatus mahasiswa, saya pernah diajak teman mendatangi satu kedai kopi di daerah Cokrodinatan, Jetis. Daerah ini masih berada tidak jauh dari Tugu Jogja. Tepatnya berada di sekitar utara Tugu Jogja. Kedai yang saya datangi ini sangat sederhana, bahkan kadang tidak terlihat dan terlewatkan. Luasnya hanya dua kotak ruangan yang saya yakin sebelum menjadi kedai kopi adalah ruang tamu.
Pemilik kedai kopi yang diberi nama Omah Kopi adalah pak Sasongko. Seorang bapak-bapak berpostur kurus dan berkacamata yang kira-kira umur beliau hampir sama dengan ayah saya. Pak Sasongko yang menyambut kami ramah waktu itu hanya sendirian. Beliau sendiri menjadi barista, pelayan, tukang lap meja dan kasir di kedainya. Karena memang menu di kedai miliknya hanya menyediakan kopi mungkin seluruh pekerjaan di kedai bisa beliau tangani sendirian.
Pemilik kedai kopi yang diberi nama Omah Kopi adalah pak Sasongko. Seorang bapak-bapak berpostur kurus dan berkacamata yang kira-kira umur beliau hampir sama dengan ayah saya. Pak Sasongko yang menyambut kami ramah waktu itu hanya sendirian. Beliau sendiri menjadi barista, pelayan, tukang lap meja dan kasir di kedainya. Karena memang menu di kedai miliknya hanya menyediakan kopi mungkin seluruh pekerjaan di kedai bisa beliau tangani sendirian.
Beberapa tahun kemudian tepatnya 20 Juli 2016 saya kembali datang ke Omah Kopi. Sedikit ada perubahan, saya lupa dulu kedai ini bernama Omah Kopi saja atau tidak. Kini nama Omah Kopi Omah S'dulur terpampang jelas di depan kedai. Ada kata omah s'dulur yang artinya rumah saudara, mungkin pak Sasongko berharap agar yang singgah di kedai miliknya layaknya seperti saudara sendiri dalam menikmati kopi. Lalu ada mas Toni, penjual pecel asal Gunung Raung Jawa Timur yang kalau pagi berjualan di depan kedai Omah Kopi, pada malam hari ia membantu pak Sasongko. Posisinya sama komplitnya seperti pak Sasongko, menjadi barista, pelayan, tukang lap meja dan kasir. Kata mas Toni, sebelum dia ada juga pemuda yang membantu pak Sasongko. Namun akhirnya pemuda tersebut berdikari dengan membuka kedai kopi di daerah Wates, Kulon Progo.
Selain hal tersebut, Omah Kopi masih sama seperti pertama kali saya datang kesini. Ruangan yang kecil dengan lampu yang remang-remang. Foto-foto lawas yang menempel di dinding. Ornamen jadul seperti mesin ketik koleksi pak Sasongko dan barang jadul lainnya. Toples-toples penampung bubuk kopi dari Sabang sampai Merauke masih dipertahankan juga tata letaknya. Dengan ditata dan diberi label, toples-toples ini sekaligus juga menjadi daftar menu di kedai ini. Karena kita tidak akan mendapatkan buku daftar menu. Daftar harga di dindingpun hanya daftar harga jika kita ingin menambah krimer, coklat atau jahe di kopi kita. Untuk gula, pada tiap hidangan kopi sudah disediakan agar dapat menakar sendiri. Namun pak Sasongko selalu menyarankan untuk mencoba dulu kopi tanpa tambahan gula agar tahu citarasa kopi sebenarnya.
Saat saya datang pukul 07.00 malam, Omah Kopi baru membuka kedainya. Saya disambut mas Toni yang saya bicarakan tadi. Dengan segera saya bilang ke mas Toni bahwa saya pesan kopi Wamena, asal Papua. Kenapa Papua, karena ingin tahu saja rasa kopi terjauh dari domisili saya ini. Dan, kopi Papua ini adalah Arabica. Sekali-kali saya ingin merasakan asamnya kopi Arabica. Lidah kopi instan seperti saya ini memang lebih sering meminum kopi Robusta yang akrab di lidah rakyat Indonesia. Sembari menunggu saya memainkan kamera saya, pelanggan juga mulai berdatangan. Mencuri dengar dari yang mereka pesan, rata-rata memesan kopi asal Sumatera terutama dari daerah Lampung untuk mereka nikmati.
Saat saya datang pukul 07.00 malam, Omah Kopi baru membuka kedainya. Saya disambut mas Toni yang saya bicarakan tadi. Dengan segera saya bilang ke mas Toni bahwa saya pesan kopi Wamena, asal Papua. Kenapa Papua, karena ingin tahu saja rasa kopi terjauh dari domisili saya ini. Dan, kopi Papua ini adalah Arabica. Sekali-kali saya ingin merasakan asamnya kopi Arabica. Lidah kopi instan seperti saya ini memang lebih sering meminum kopi Robusta yang akrab di lidah rakyat Indonesia. Sembari menunggu saya memainkan kamera saya, pelanggan juga mulai berdatangan. Mencuri dengar dari yang mereka pesan, rata-rata memesan kopi asal Sumatera terutama dari daerah Lampung untuk mereka nikmati.
Akhirnya datang kopi Wamena pesanan saya. Aromanya tercium biasa saja, atau memang sayanya saja yang belum sanggup ke level penikmat aroma kopi. Walaupun kopi di Omah Kopi penyajiannya adalah tubruk, namun kopi Wamena pesanan saya tidak banyak sisa-sisa kopi bubuk dipermukaan. Tentu rasa asam hadir karena ini adalah kopi Arabica. Benar, saya memang lebih terbiasa dengan kopi Robusta. Saya hanya sanggup minum setengah cangkir kopi Wamena polosan tanpa gula. Selebihnya, saya menyerah bin penasaran bagaimana jika kopi saya ini sedikit diberi gula agar lebih manis.
Di Omah Kopi saat ini ada 21 varian kopi nusantara dan 2 varian kopi racikan pak Sasongko. Sumatra menyumbang 7 varian kopi, terdiri dari Batu Sangkar, Sidikalang, Mandailing, Aceh Ulle Kareng, Aceh Gayo, Jambi Kerinci, dan Lampung. Kalimantan menyumbang 1 varian kopi, Pontianak. Sulawesi menyumbang 2 varian kopi, Toraja Kalosi dan Toraja Malino. Papua menyumbang 1 varian kopi, Wamena. Bali menyumbang 1 varian kopi, Kintamani. NTB menyumbang 1 varian kopi, Lombok Bayan. NTT menyumbang 3 varian kopi, terdiri dari Flores Manggarai, Flores Bajawa, dan Timor Maubesse. Jawa menyumbang 5 varian kopi, terdiri dari Dampit, Ambarawa, Banjarnegara, Bandung Arabica dan Bandung Robusta.
Sementara 2 varian kopi racikan spesial pak Sasongko adalah Kopi Durian dan Kopi Peaberry. Kopi Durian adalah kreasi pak Sasongko yang dihasilkan dari penambahkan daging durian kering saat biji kopi digiling. Sedangkan Kopi Peaberry adalah kopi spesial dari pak Sasongko karena kelangkaan biji kopi Peaberry daripada biji kopi yang lain. Yang membuat langka adalah bentuk biji kopinya yang tunggal dan bulat serta butuh penyortiran, sehingga kadang hanya berpopulasi 3% dari total produksi. Untuk kopi Peaberry di Omah Kopi adalah berjenis Robusta. Walaupun sebenarnya kopi Peaberry bisa dihasilkan oleh kopi berjenis Arabica.
Selanjutnya saya lebih tertarik untuk mencoba Kopi Durian. Mas Toni menawarkan kental atau sedang, saya pilih sedang saja karena sudah menghabiskan secangkir kopi sebelumnya. Benar saja, saat tersaji di meja saya, aroma durian langsung dapat tercium di hidung. Saya tetap tidak menambahkan gula, perintah dari mas Toni yang dulunya juga dilakukan pak Sasongko saat menyerahkan kopi kepada pelanggan. Kalau untuk yang kopi Durian ini, sampai habis secangkirpun saya tidak menambahkan gula karena ada sedikit rasa manis di kopi. Rasanya enak, ada taste durian disetiap saya menyeruput kopi ini. Bagi penikmat kopi pemula seperti saya ini, kopi seperti ini cocok di lidah saya.
Saya tahu, Omah Kopi pak Sasongko ini belum tentu kedai kopi yang memiliki koleksi lengkap kopi nusantara. Koleksi Kopi pak Sasongko juga berubah-ubah mengikuti pasokan yang ada. Kabarnya dulu pak Sasongko juga menyediakan kopi Luwak namun saat ini sudah tidak lagi karena harganya yang melambung tinggi, bertolak belakang dengan keinginan pak Sasongko yang ingin menghadirkan kopi dengan harga terjangkau. Kabarnya lagi, dulu bahkan ada kopi impor di Omah Kopi. Kopi impor tersebut diimpor dari Peru, Kostarika, dan Jamaica. Untuk saat ini kopi impor tersebut tidak tersedia, alasannya biar pak Sasongko saja yang tahu. Mungkin kelak akan ada kopi nusantara lain atau bahkan ada kopi impor lagi dipajang di toples-toples Omah Kopi, kopi yang tidak saya temui saat saya datang kesana.
Omah Kopi saat ini juga tidak menyediakan koleksi bubuk kopi nusantara untuk dapat dibeli pelanggan. Pernah saya lihat foto berbagai kopi bubuk nusantara di jual di Omah Kopi, tapi itu dulu. Jika ingin membawa bubuk kopi, Omah Kopi siap membungkuskan selama stok masih ada. Harganya hanya dikurangi Rp 1.000 rupiah per porsi. Jadi kopi yang dibawa untuk diracik dirumah adalah porsian. Yang paling sering dibungkus adalah Kopi Durian. Terakhir beberapa pelanggan dari Hongkong memborong Kopi Durian di Omah Kopi.
Jam buka Omah Kopi adalah pagi dan malam. Kalau pagi biasanya mas Toni yang menjaga kedai, dibuka antara jam 07.00 pagi sampai dengan jam 13.00 siang. Saat pagi, bisa sembari merasakan menu pecel dari mas Toni yang buka persis didepan kedai. Malam hari Omah Kopi buka dari jam 19.00 sampai jam 24.00 tengah malam, kadang ada waktu tambahan jika pak Sasongko tidak tega untuk meminta pergi pelanggan jika pelanggan masih betah di kedai kopinya. Omah Kopi buka dari Senin sampai dengan Sabtu, hari Minggu Omah Kopi tutup. Untuk kontak Omah Kopi bisa menghubungi di nomor (0274) 9527991 atau SMS di 085878797991
Omah Kopi, Omah S'dulur - tradisi sebenarnya kopi toebroek oentoek rakjat djelata. Itu adalah tagline yang dapat kita temui di depan kedai kopi pak Sasongko ini. Mari kita buktikan bahwa Omah Kopi benar-benar serasa ngopi dirumah saudara sendiri dan kopi di Omah Kopi bersahabat untuk rakyat jelata seperti saya ini yang ingin merasakan kopi lokal nusantara. Mari ngopi!
5 comments
Write commentsWohoooo Jogjaaaa :D aku bukan penikmat kopi sih mas, tapi omah kopi sdulur itu deket sekolahku dulu mas :D wkwkwk SMK N 2 YK
ReplyBukan pecinta kopi dan tak tau nikmat nya ngopi dimana tp suka nongkrong di tempat kopi hahaha.
ReplyBoleh di coba nich tempat buat kumpul2
Mampir mas sambil nostalgia jaman sekolah
ReplyYuk mas Toro kesini
Replyasik ni kyaknya..regone murah yo ?
ReplyAdd your comment EmoticonEmoticon